MASYARAKAT China di seluruh
dunia baru saja merayakan tahun baru mereka. Lampion-lampion berwarna merah dan
peragaan barongsai tampak di mana-mana dan mungkin juga ikut dinikmati oleh
masyarakat Indonesia secara umum. Beberapa aspek kebudayaan China kini sudah
menjadi bagian dari kebudayaan Indonesia, tapi rupanya masih ada jurang pemisah
yang dalam di antara komunitas China dengan Masyarakat Indonesia yang
mayoritasnya beragama Islam. Kedua belah pihak sehari-harinya melakukan
transaksi sosial dan ekonomi, tetapi sebuah Tembok Besar yang tak terlihat
masih memisahkan kedua komunitas ini.
Komunitas China banyak yang sudah hidup sekian generasi di nusantara, sebagian
mereka bahkan berbahasa ibu dan berdialek sama dengan masyarakat lokal tempat
mereka tinggal. Tetapi alienasi di antara kedua komunitas masih saja terjadi,
alienasi yang sewaktu-waktu bisa berubah menjadi ketegangan sosial yang serius.
Memang sulit untuk dipungkiri, masih ada kesenjangan budaya, kesenjangan
ekonomi, dan juga kesenjangan keyakinan yang lebar di antara masyarakat China
dan Muslim di Indonesia; kesenjangan yang seolah tak bisa dihapuskan.
Sebagian besar kaum Muslimin mungkin selamanya memandang orang-orang China
sebagai komunitas yang tak ada kait mengait dengan Islam, dan barangkali nyaris
mustahil untuk menerima Islam. Fakta sejarah menunjukkan sebaliknya. Pada
kenyataannya Islam memiliki sejarah yang panjang di negeri tirai bambu itu.
Jumlah kaum Muslimin di China sendiri bukannya sedikit, walaupun kecil dalam
persentasenya. Jumlah mereka kurang lebih sama dengan, atau malah lebih banyak
dari, beberapa negeri Muslim di Timur Tengah yang hampir seluruh penduduknya
beragama Islam. Sensus tahun 1990 menyebutkan bahwa jumlah kaum Muslimin di
China mencapai 17,5 juta, sementara beberapa sumber Muslim memperkirakan
jumlahnya jauh lebih besar dari itu, barangkali antara 30-50 juta orang.1
Ada interaksi dan proses sejarah yang panjang antara masyarakat China dan Islam
yang memungkinkan munculnya angka statistik di atas. Melalui tulisan ini kita
akan melihat pasang surut sejarah Islam di China.
Sejak sebelum era Islam sudah terjadi hubungan perdagangan antara dunia Arab
dan China. Jalur perdagangan ini ada yang melewati laut dan ada yang melewati
darat (jalur sutera). Beberapa pedagang Arab disebut-sebut sudah ada yang
menetap di beberapa kota bandar dagang di negeri China, seperti Kanton, Chang
Chow, dan Chuan Chow. Walaupun ada yang berpendapat Islam sudah masuk ke Kanton
sejak zaman Nabi shallallahu ’alaihi wasallam, tetapi hubungan resmi
antara pemerintah Islam dan China terjadi pada masa Khalifah Utsman ibn Affan radhiyallahu
’anhu yang mengirim delegasi pada kaisar Dinasti Tang (618-905). Hal ini
tercatat dalam sejarah resmi (Annals) Dinasti Tang.2
Sejak itu terjadi hubungan diplomatik yang baik antara kekhalifahan Islam dan
Dinasti Tang. Catatan resmi dinasti tersebut menyebutkan adanya 37 kali
perutusan diplomatik di antara kedua belah pihak. Salah satu kaisar China yang
terguling karena pemberontakan pada tahun 755 M bahkan pernah mendapat bantuan
militer dari pasukan muslim yang dikirim dari Asia Tengah sehingga dinasti
tersebut berhasil mendapatkan kembali kedaulatannya. Sebagai balasannya, sang
kaisar mengizinkan pasukan muslim yang telah membantunya itu untuk tinggal di
salah satu distrik di ibukota Dinasti Tang dan membolehkan mereka melakukan
pernikahan dengan perempuan-perempuan China.3
Di akhir masa pemerintahan Dinasti Tang tercatat adanya 120.000 orang asing menetap
di China. 80 persen dari jumlah tersebut adalah orang-orang Arab, selebihnya
orang Persia, Nasrani, dan Yahudi.4 Orang-orang Arab muslim yang
menetap di China pada abad ke-8 telah memperoleh hak khusus untuk mengatur
urusan serta memilih pemimpin di antara mereka sendiri. Hal ini menunjukkan
adanya hubungan baik serta kepercayaan pemerintah China kepada komunitas muslim
yang tinggal di sana. Mobilitas yang dinamis di antara dunia Islam dan Tiongkok
telah memungkinkan para ahli geografi muslim mencatat keadaan geografis dan
kebudayaan China dengan baik pada masa yang relatif dini, seperti yang bisa
didapati pada sebuah kitab anonim berjudul Silsilat al-Tawarikh yang
mungkin disusun pada paruh terakhir abad ke-9 dan diedit oleh Abu Zaid
al-Sirafi dan kemudian dikutip oleh al-Mas’udi dalam Muruj al-Dzahab-nya.5
Pada masa-masa berikutnya, eksistensi Islam di China terus berlanjut, malah
semakin baik. Ketika China dikuasai oleh Mongol dan terbentuk Dinasti Yuan
(1279-1368 M), pengaruh Islam di Tiongkok semakin kokoh. Banyak muslim Arab
atau Persia yang diberdayakan dalam pemerintahan dan militer China. Beberapa di
antaranya bahkan memegang posisi yang strategis, seperti Saidian Chi (Say Dian
Chih/ Sayyid Shini/ Sayyid Syamsuddin) yang menjadi Gubernur di Yunnan. Sebuah
pribahasa China sampai-sampai menyebutkan ”Hui-Hui (muslim) tersebar luas di
seluruh penjuru China pada masa Dinasti Yuan.”6 Pada masa ini kaum
Muslimin bahkan dipanggil dengan sebutan Da’shman yang bermakna ’orang
terpelajar,’ di samping sebutan Mu Su Lu Man dan Hui-Hui.7
Keberadaan Islam di China mencapai puncaknya pada masa Dinasti Ming (1368-1644)
yang menggantikan Dinasti Yuan. Ibrahim Tien Ying Ma menyebutkan bahwa istri
kaisar pertama Dinasti Ming adalah seorang muslimah yang dikenal sebagai Ratu
Ma (Ma menurutnya merupakan nama keluarga muslim China yang berasal dari kata
’Muhammad’). Empat dari enam panglima yang mendukung proses revolusi yang
melahirkan Dinasti Ming juga merupakan panglima-panglima muslim. Ia juga
berargumen bahwa kaisar pertama Dinasti Ming, Chu Yuan Chang, dan kaisar-kaisar
Ming berikutnya menganut agama Islam, walaupun mereka tidak menjadikan Islam
sebagai agama resmi negara.8 Yang jelas, masyarakat China mencapai
puncak kejayaannya pada masa dinasti ini dan pada masa ini pula Islam mencapai
puncak pengaruhnya di negeri tersebut. Admiral Cheng Ho pun menjalankan misi
diplomasinya yang sangat menonjol ke Timur Tengah dan Asia Tenggara pada awal
pemerintahan Dinasti Ming.
Islam mulai mengalami kemunduran setelah Dinasti Ming digantikan oleh Dinasti
Qing/ Manchu (1644-1911). Dinasti terakhir di China ini sikapnya kurang
bersahabat terhadap kaum muslimin dan kebijakannya yang merugikan juga telah
mendorong terjadinya banyak permberontakan yang dilakukan oleh masyarakat muslim
di China. Pemberontakan-pemberontakan tersebut gagal dan ditindas dengan sangat
keras oleh rezim Manchu. Lebih dari 2 juta Muslim diperkirakan mati terbunuh
pada pertengahan abad ke-19 dan selebihnya dimarjinalkan.9
Ketika dinasti ini jatuh oleh gerakan demokrasi dan republikan yang dipimpin
oleh Dr. Sun Yat Sen, kaum Muslimin China merasakan keadaan yang lebih baik dan
ikut memberikan kontribusi yang cukup penting. Namun, ketika komunisme berkuasa
di China sejak tahun 1950, mereka kembali mengalami kemunduran dan mendapat
tekanan yang luar biasa. Masjid-masjid dan para imamnya dihancurkan dan
disingkirkan oleh pemerintah komunis pada masa Reformasi Keagamaan (1958) dan
Revolusi Kebudayaan (1966-1976).
Liu Baojun memberi contoh bahwa di provinsi Qinghai setelah tahun 1958 hanya
tersisa 8 masjid, padahal sebelumnya ada 931 masjid. Jumlah imam dan staf
keagamaan di masjid-masjid pun tinggal 12 orang setelah tahun 1958, dari
sebelumnya yang berjumlah 5940 orang. Pada masa Revolusi Kebudayaan, masjid dan
para imam di provinsi tersebut sama sekali tidak tersisa lagi. Pelaksanaan
kewajiban Islam seperti shalat lima waktu dan pergi haji tidak diizinkan. Yang
terakhir ini menyebabkan muslim China mengalami keterputusan hubungan dengan
negeri-negeri Muslim lainnya dan menjadikan generasi muda mereka mengalami
kesenjangan dalam pemahaman Islam. Namun sejak masa pemerintahan Deng Xiaoping,
keadaan muslim di China menjadi lebih baik. Keyakinan mereka serta kebebasan
dalam menjalankan kewajiban keagamaan dilindungi oleh undang-undang.10
Ketegangan antara muslim dengan pemerintah komunis China memang masih terjadi
pada waktu-waktu tertentu, seperti yang berlaku di wilayah Xinjiang belum lama
ini. Namun itu bukan berarti kaum Muslimin sama sekali tidak memiliki peluang
untuk berkembang dan memajukan diri pada masa-masa yang akan datang. Islam
telah hadir sejak awal keberadaannya di China dan telah menjadi bagian integral
serta memberikan kontribusi yang sangat penting dalam perjalanan sejarah bangsa
tersebut. Walaupun belakangan mendapat tekanan luar biasa dari rezim yang
berkuasa, tetapi Islam bukan hanya masih eksis di China, tetapi juga masih
memiliki jumlah penganut yang sangat besar. Sementara agama Yahudi dan Kristen
Nestorian yang lebih dulu masuk ke China telah habis tak bersisa.
Kenyataan ini juga rupanya yang mendorong ketertarikan Isaac Mason, seorang
misionaris di China pada awal abad ke-20, untuk menerjemahkan sebuah karya
biografi tentang Nabi Muhammad yang ditulis oleh seorang ilmuwan Muslim China
bernama Liu Chai-Lien atau Liu Chih. Dalam pengantarnya Mason menulis,
”Nestorianisme menghilang bak air yang merembes ke dalam pasir, meninggalkan
tak satu pun pengikut di negeri ini; dan hal yang sama juga secara praktis
berlaku pada komunitas Yahudi masa lalu. Apa, kemudian, dinamika dalam agama
ini (Islam, pen.) yang secara tegar menolak untuk terserap oleh lingkungannya,
dan secara gigih membanggakan superioritasnya terhadap seluruh sistem lainnya?
Sementara sepenuhnya menyadari, dan mengakui sebab-sebab lainnya, saya percaya
bahwa keperibadian sang Nabi (Muhammad, pen.), sebagaimana yang dipahami dan
dipercayai oleh para pengikutnya, telah menjadi faktor yang sangat kuat dalam
memelihara agama Islam.”11
Tanggung jawab terhadap perkembangan Islam di negeri tirai bambu itu tentunya
bukan hanya berada di pundak masyarakat muslim China sendiri, tetapi juga
masyarakat muslim di negeri-negeri lainnya, termasuk Indonesia. Oleh karena
itu, ketimbang melihat komunitas China di tanah air sebagai sosok-sosok yang asing,
tentu akan lebih baik jika kaum muslimin Indonesia memulai interaksi yang lebih
terbuka dan sungguh-sungguh dengan mereka. Tidak ada salahnya belajar dari
masyarakat China, karena ada banyak hal positif dari karakter dan kebiasaan
mereka yang bisa diambil oleh kaum muslimin. Dan walaupun tidak mudah, alangkah
baiknya jika kaum muslimin dapat memperkenalkan Islam secara lebih tepat kepada
mereka. Kalau masyarakat Barat yang memiliki sejarah konflik yang cukup panjang
dengan dunia Islam pada hari ini banyak yang terdorong untuk mempelajari dan
masuk Islam, mengapa masyarakat China yang tidak memiliki sejarah permusuhan
dengan dunia Islam harus dianggap lebih sulit untuk merangkul Islam?
Tapi tentu saja semua itu sulit diwujudkan selama kaum muslimin sendiri masih
terlalu menonjolkan ego, ketidakperdulian, serta tidak mampu menampilkan diri
sebagai komunitas Islam yang baik dan ideal sebagaimana yang dikehendaki oleh
agama mereka. Wallahu a’lam. [Kuala Lumpur, 9 Rabiul Awwal 1431/ 21 Februari
2010/
www.hidayatullah.com]
Penulis sedang mengambil program doktoral
bidang sejarah di di Universiti Islam Antarabangsa, Malaysia
[1] Liu Baojun, Haji Yusuf,
A Glance at Chinese Muslims, an
Introductive Book, Kuala Lumpur: Malaysian Encyclopedia Research Center
Berhad, hlm. 53. Coba bandingkan dengan beberapa perkiraan jumlah Muslim di
Cina saat ini yang terdapat di
www.wikipedia.org
di bawah judul ‘Islam in China.’
[2] Ibid., hlm. 5-6. Lihat juga Tien Ying Ma, Ibrahim, Perkembangan
Islam di Tiongkok (diterjemahkan oleh Joesoef Sou’yb), Jakarta: Bulan
Bintang, hlm. 24-27. Tien Ying Ma menyebutkan bahwa interaksi awal ini pada
awalnya disebabkan kaisar China pada masa itu, Yong Hui, melibatkan dirinya
dalam konflik antara Persia dan kaum Muslimin dengan memberikan bantuan bagi
kaisar Persia terguling, Yezdegird, untuk memulihkan kekuasannya. Upaya
Yezdegird ini gagal dan ia sendiri pada akhirnya mati terbunuh. Intervensi kekaisaran
Cina inilah yang menyebabkan Khalifah Utsman mengirimkan delegasi kepada kaisar
Cina sebagai teguran. Dikatakan juga bahwa delegasi pertama yang dikirim ini
dipimpin oleh Sa’ad ibn Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu.
[3] Liu Baojun, ibid., hlm. 6.
[4] Tien Ying Ma, op.cit., hlm. 31. Agama Nasrani yang masuk ke
China pada masa itu adalah dari sekte Nestorian yang memang banyak menyebar ke
wilayah Timur.
[5] Showket, Ibrahim, Arab Geography Till the End of the Tenth
Century (disertasi), Michigan: University Microfilms International
(UMI), 1987, hlm. 61-63.
[6] Liu Baojun, loc.cit., hlm. 6-7. Ibrahim Tien Ying Ma memberikan
kutipan peribahasa yang sedikit berbeda tapi dengan maksud yang sama. Ia juga
memberikan penjelasan yang cukup detail tentang Saidian Chi serta peranan ahli
keuangan Muslim dalam menjaga stabilitas ekonomi Dinasti Yuan. Tien Ying Ma, loc.cit.,
hlm. 66-87.
[7] Tien Ying Ma, ibid., hlm. 65-66.
[8] Ibid., hlm. 122-135.
[9] Liu Baojun, loc.cit., hlm. 41-42.
[10] Ibid., hlm. 46-50.
[11] Liu Chai Lien, The Arabian Prophet: A Life of Mohammed
from Chinese and Arabic Sources (diterjemahkan oleh Isaac Mason),
Shanghai: Commercial Press, 1921, hlm. v. Buku ini ditulis oleh Liu Chai Lien
dalam beberapa tahap penulisan, yang agaknya disebabkan oleh keterbatasan akses
terhadap sumber-sumber biografi Nabi di China, diselesaikan pada tahun 1724,
dan baru bisa dicetak 55 tahun kemudian. Edisi ini diterjemahkan dan
diterbitkan oleh Isaac Mason dan diberi pengantar oleh Samuel Zwemer, keduanya
merupakan aktivis misionari Kristen ke wilayah Timur dan negeri-negeri Muslim.